Selasa, 27 April 2010

Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)

Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)
Sebelum dibahas lebih jauh mengenai radang usus buntu yang dalam bahasa medisnya disebut Appendicitis, maka lebih dulu harus difahami apa yang dimaksud dengan usus buntu. Usus buntu, sesuai dengan namanya bahwa ini merupakan benar-benar saluran usus yang ujungnya buntu. Usus ini besarnya kira-kira sejari kelingking, terhubung pada usus besar yang letaknya berada di perut bagian kanan bawah.

Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, Organ ini ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Pada awalnya Organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi, tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid.

Seperti organ-organ tubuh yang lain, appendiks atau usus buntu ini dapat mengalami kerusakan ataupun ganguan serangan penyakit. Hal ini yang sering kali kita kenal dengan nama Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis).
• Penyebab Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)
Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur.

Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyabab adalah faktor penyumbatan oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu.

Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap kesaluran appendiks sebagai benda asin, Begitu pula terjadinya pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.

Seseorang yang mengalami penyakit cacing (cacingan), apabila cacing yang beternak didalam usus besar lalu tersasar memasuki usus buntu maka dapat menimbulkan penyakit radang usus buntu.
• Gambaran Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)
Peradangan atau pembengkakaan yang terjadi pada usus buntu menyebabkan aliran cairan limfe dan darah tidak sempurna pada usus buntu (appendiks) akibat adanya tekanan, akhirnya usus buntu mengalami kerusakan dan terjadi pembusukan (gangren) karena sudah tak mendapatkan makanan lagi.

menghasilkan cairan bernanah, apabila tidak segera ditangani maka akibatnya usus buntu akan pecah (perforasi/robek) dan nanah tersebut yang berisi bakteri menyebar ke rongga perut. Dampaknya adalah infeksi yang semakin meluas, yaitu infeksi dinding rongga perut (Peritonitis).
• Tanda dan Gejala Penyakit Radang Usus Buntu
Gejala usus buntu bervariasi tergantung stadiumnya;
Penyakit Radang Usus Buntu akut (mendadak).
Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat berjalan jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah saja.

Penyakit Radang Usus Buntu kronik.
Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney (istilah kesehatannya).
Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter, nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa nyeri mungkin tidak spesifik begitu.
• Pemeriksaan diagnosa Penyakit Radang Usus Buntu
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Tim Kesehatan untuk menentukan dan mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis) oleh Pasiennya. Diantaranya adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiology ;
Pemeriksaan fisik.
Pada appendicitis akut, dengan pengamatan akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi). Pada perabaan (palpasi) didaerah perut kanan bawah, seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.

Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga. Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.

Pemeriksaan Laboratorium.
Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).

Pemeriksaan radiologi.
foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 – 97 %), terutama untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98 %). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks.

• Penanganan dan Perawatan Penyakit Radang Usus Buntu
Bila diagnosis sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk penyakit radang usus buntu (appendicitis) adalah operasi. Pada kondisi dini apabila sudah dapat langsung terdiagnosa kemungkinan pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun demikian tingkat kekambuhannya mencapai 35%.

Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari. Selanjutnya adalah perawatan luka operasi yang harus terhindar dari kemungkinan infeksi sekunder dari alat yang terkontaminasi dll.

Dirangkum dari berbagai sumber

Dwi Widyanintyas R.M.
04.07.1568

Sabtu, 24 April 2010

BENIGNA PROSTAT HYPERTROPI (BPH)

Diposting Oleh : Ika Puji Lestari 04.07.1575


I.          PENGERTIAN

BPH (Benigna Prostat Hyperplasi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (urethra).

ETIOLOGI
Mulai ditemukan pada umur kira-kira 45 tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan bertambahnya umur, sehingga diatas umur 80 tahun kira-kira 80 % menderita kelainan ini.
Sebagai etiologi sekarang dianggap ketidakseimbangan endokrin.  Testosteron dianggap mempengaruhi bagian tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal) mempengaruhi bagian tengah prostat.

TANDA DAN GEJALA
Walaupun hyperplasi prostat selalu terjadi pada orangtua, tetapi tidak selalu disertai gejala-gejala klinik.
Gejala klinik terjadi terjadi oleh karena 2 hal, yaitu :
1.      Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.
2.      Retensi air kemih dalam kandung kemih yang menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.

Gejala klinik dapat berupa :
·         Frekuensi berkemih bertambah
·         Berkemih pada malam hari.
·         Kesulitan dalam hal memulai dan menghentikan berkemih.
·         Air kemih masih tetap menetes setelah selesai berkemih.
·         Rasa nyeri pada waktu berkemih.
Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, penderita sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.
Selain gejala-gejala di atas oleh karena air kemih selalu terasa dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selanjutnya kerusakan ginjal yaitu hydroneprosis, pyelonefritis.

PATOFISIOLOGI
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (> 45 tahun ) dimana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memacu pertumbuhan / pembesaran prostat.
Makrokospik dapat mencapai 60 - 100 gram dan kadang-kadang lebih besar lagi hingga 200 gram atau lebih.
Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak mengenai bagian posterior dari pada lobus medialis, yaitu bagian yang dikenal sebagai lobus posterior, yang sering merupakan tempat berkembangnya karsinoma (Moore)
Tonjolan ini dapat menekan urethra dari lateral sehingga lumen urethra menyerupai celah, atau menekan dari bagian tengah. Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen urethra.
Pada penampang, tonjolan itu jelas dapat dibedakan dengan jaringan prostat yang masih baik. Warnanya bermacam-macam tergantung kepada unsur yang bertambah.
Apabila yang bertambah terutama unsur kelenjar, maka  warnanya kung kemerahan, berkonsistensi lunak dan terbatas tegas dengan jaringan prostat yang terdesak, yang berwarna putih keabu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan maka akan keluar caiaran seperti susu.
Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, maka tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan cairan seperti halnya jaringan prostat yang terdesak sehingga batasnya tidak jelas.
Gambaran mikroskopik juga bermacam-macam tergantung pada unsur yang berproliferasi. Biasanya yang lebih banyak berproliferasi ialah unsur kelenjar sehingga terjadi penambahan kelenjar dan terbentuk kista-kista yang dilapisi oleh epitel torak atau koboid selapis yang pada beberapa tempat membentuk papil-papil ke dalam lumen. Membran basalis masih utuh.
Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar yang kecil-kecil sehingga menyerupai adenokarsinoma. Dalam kelenjar sering terdapat sekret granuler, epitel yang terlepas dan corpora anylacea.
Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, maka terjadi gambaran yang terjadi atas jaringan ikat atau jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya saling berjauhan. Gambaran ini juga dinamai hiperplasi fibrimatosa atau hiperplasi leiomymatosa.
Pada jaringan ikat atau jaringan otot biasanya terdapat serbukan limfosit.
Selain gambaran di atas sering terdapat perubahan lain berupa :
1.      Metaplasia skwamosa epitel kelenjar dekat uretra.
2.      Daerah infark yang biasanya kecil-kecil dan kadang-kadang terlihat di bawah mikroskop.
Tanda dan gejala dari BPH adalah dihasilkan oleh adanya obstruksi jalan keluar urin dari kandung kemih
Ada tiga cara pengkuran besarnya  hipertropi prostat :

Rectal Grading, yaitu dengan rectal toucher diperkirakan berapa cm prostat yang menonjol ke dalam lumen rektum yang dilakukan sebaiknya pada saat buli-buli kosong.
Gradasi ini adalah :
0 - 1 cm           : grade 0
1 - 2 cm           : grade 1
2 - 3 cm           : grade 2
3 - 4 cm           : grade 3
> 4 cm             : grade 4
Pada grade 3 - 4 batas prostat tidak teraba. Prostat fibrotik, teraba lebih kecil dari normal.

Clinical Grading, dalam hal ini urine menjadi patokan. Pada pagi hari setelah bangun pasien disuruh kencing sampai selesai, kemudian di masukan kateter ke dalam buli-buli untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc             : normal
Sisa urine 0-50 cc        : grade 1
Sisa urine 50-150 cc    : grade 2
Sisa urine > 150 cc      : grade 3
Tidak bisa kencing      : grade 4

Intra Uretral Grading, dengan alat perondoskope dengan diukur / dilihat bebrapa jauh penonjolan lobus  lateral ke dalam lumen uretra.


Grade I :
Clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau kencing tidak lancar, pancaran lemah, nokturia.
Grade II :
Bila miksi terasa panas, sakit, disuria.
Grade III :
Gejala makin berat
Grade IV :
Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil, panas 40-41° celsius, kesadaran menurun.

Komplikasi :
·         Urinary traktus infection
·         Retensi urin akut
·         Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi ginjal.
Bila operasi bisa terjadi :
·         Impotensi (kerusakan nevron pudendes)
·         Hemoragic paska bedah
·         Fistula
·         Striktur paska bedah
·         Inkontinensia urin

PEMERIKSAAN FISIK
·         Urinolisis
·         Urine kultur
·         Pemeriksaan fisik




PENATALAKSANAAN
Konservatif
Obat-obatan     : Antibiotika,  jika perlu.
Self Care          :
·         Kencing dan minum teratur.    
·         Rendam hangat, seksual intercourse

Pembedahan
·         Retropubic Prostatectomy
·         Perineal Prostatectomy
·         Suprapubic / Open Prostatectomy
·         Trans Uretrhal Resectio (TUR), yaitu : Suatu tindakan untuk menghilangkan obstruksi prostat dengan menggunakan cystoscope melalui urethra. Tindakan ini dlakukan pada BPH grade I.
Kontraindikasi tindakan pembedahan :
Orangtua dengan :
·         Decompensasi kordis
·         Infark jantung baru
·         Diabetes militus
·         Malnutrisi berat
·         Dalam keadaan koma
·         Tekanan darah sistol 200 - 260 mmHg.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pasien post TUR Prostat :
·         Drainase urine, meliputi : kelancaran, warna, jumlah, cloting.
·         Kebutuhan cairan : minum adekuat  (± 3 liter/hari)
·         Program “Bladder Training” yaitu latihan kontraksi otot-otot perineal selama 10 menit, dilakukan 4 kali sehari.
Dan menentukan jadwal pengosongan kandung kemih: Bokong pasien diletakkan di atas stekpan / pispot atau pasien diminta ke toilet selama 30 menit - 2 jam untuk berkemih.
·         Diskusikan pemakaian kateter intermiten.
·         Monitor timbul tanda-tanda infeksi (Kalor, Dolor, Rubor, Tumor, Fungsilaesa)
·         Rawat kateter secara steril tiap hari. Pertahankan posisi kateter, jangan sampai tertekuk.
·         Jelaskan perubahan pola eliminasi dan pola seksual.
·         Fungsi normal kandung kemih akan kembali dalam waktu 2 -3 minggu, namun dapat juga sampai 8 bulan yang perlu diikuti dengan latihan perineal / Kegel Exercise.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1.      Sirkulasi :
·         Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal )
2.      Eliminasi :
·         Penurunan kekuatan / kateter berkemih.
·         Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.
·         Nokturia, disuria, hematuria.
·         Duduk dalam mengosongkan kandung kemih.
·         Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary stasis).
·         Konstipasi (penonjolan prostat ke rektum)
·         Masa abdomen bagian bawah, hernia inguinal, hemoroid (akibat peningkatan tekanan abdomen pada saat pengosongan kandung kemih)
3.      Makanan / cairan:
·         Anoreksia, nausea, vomiting.
·         Kehilangan BB mendadak.
4.      Nyeri / nyaman :
·         Suprapubis, panggul, nyeri belakang, nyeri pinggang belakang, intens (pada prostatitis akut).
5.      Rasa nyaman :  demam
6.      Seksualitas :
·         Perhatikan pada efek dari kondisinya/tetapi kemampuan seksual.
·         Takut beser kencing selama kegiatan intim.
·         Penurunan kontraksi ejakulasi.
·         Pembesaran prostat.
7.      Pengetahuan / pendidikan :
·         Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
Penggunaan obat antihipertensi atau antidepresan, antibiotika / antibakterial untuk saluran kencing

CEDERA KEPALA


Diposting Oleh : Nabila Wardiningsih 04.07.1585
 A. PENGERTIAN
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.



Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :

1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
Gegar kepala ringan
Memar otak
Laserasi 
2. Cedera kepala sekunder
1.    Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
2.    Hipotensi sistemik
3.    Hipoksia
4.    Hiperkapnea
5.    Udema otak
6.    Komplikasi pernapasan
7.    infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

C. PERDARAHAN YANG SERING DITEMUKAN
1. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri  karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala-gejala yang terjadi :
Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu
2. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena.
Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah  dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :

1.    Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

2.    Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

3.    Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.

4.    Pemeriksaan Penujang
·         CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
·         MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
·         Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
·         Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
·         X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
·         BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
·         PET: Mendeteksi perubahan aktivitas  metabolisme otak
·         CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
·         ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah  pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
·         Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
·         Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

Penatalaksanaan
Konservatif:
·         Bedrest total
·         Pemberian obat-obatan
·         Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan:
1.    Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2.    Mencegah komplikasi
3.    Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4.    Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5.    Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
Tujuan:
1.    Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2.    Komplikasi tidak terjadi
3.    Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4.    Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5.    Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.   

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:
1.    Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
2.    Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
3.    Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
4.    Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)   
5.    Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

C. INTERVENSI

Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
·         Hitung pernapasan pasien dalam satu menit.  pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
·         Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
·         Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
·         Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
·         Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
·         Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan :
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
·         Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
·         Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
·         Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
·         Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.


Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
Tujuan :
Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.
Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.

Monitor tanda-tanda  vital tiap 30 menit.
Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.

Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari          konstipasi yang berkepanjangan.
Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.

Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.    
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania.
Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Dapat menurunkan hipoksia otak.

Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk  menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi,  menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.

Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma )
Tujuan :
Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
      Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.

Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.

Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.

Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
Tujuan :
Kecemasan keluarga dapat berkurang
Kriteri evaluasi :
Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat.
Rencana tindakan :
·         Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.
·         Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.
·         Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
·         Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
      Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan                ketabahan dalam menghadapi krisis.

Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
·         Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
·         Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
·         Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
·         Ganti posisi pasien setiap 2 jam
·         Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
·         Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
·         Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
·         Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
·         Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.  Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.

Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press